Rabu, 22 Juni 2011

SEKSUALITAS REMAJA: PERBEDAAN SEKSUALITAS ANTARA REMAJA


SEKSUALITAS REMAJA: PERBEDAAN SEKSUALITAS ANTARA REMAJA
YANG TIDAK MELAKUKAN HUBUNGAN SEKSUAL DAN
REMAJA YANG MELAKUKAN HUBUNGAN SEKSUAL
TEENAGERS’ SEXUALITY: THE DIFFERENCE BETWEEN NON AND
PRACTITIONERS OF PREMARITAL SEXUAL INTERCOURSE
Taufik dan Nisa Rachmah Nur Anganthi
Fakultas Psikologi,
Universitas Muhammadiyah Surakarta
ABSTRACT
This research aims at identifying the difference of sexuality between teenagers
who do and those do not commit premarital sexual intercourse. The
subjects of the study consist of 1.250 senior high-school students (611 male
and 639 female). The subjects of the study are selected by means of random
sampling technique. The data-collecting method is questionnaire and the dataanalyzing
technique is descriptive. The outcome of the study is as follows.
First, as many as 164 subjects (139 male and 25 female) have committed
premarital sexual intercourse. Second, among other reasons of committing premarital
sexual intercourse are irregular religious services, the usage of pornographic
media, occasional masturbating practices, and flirting. Third, the male
practitioners think that premarital sexual intercourse is allowed as long as it is
voluntary and that premarital sexual intercourse is a way of expressing love.
Kata Kunci: seksualitas, hubungan seksual pranikah, aktivitas
seksual
PENDAHULUAN
Pada masa remaja perkembangan seksualitas diawali ketika terjalinnya interaksi
antar lawan jenis, baik itu interaksi antarteman maupun interaksi ketika berkencan.
Dalam berkencan dengan pasangannya, remaja melibatkan aspek emosi yang
diekspresikan dengan berbagai cara, seperti memberikan bunga, tanda mata, mengirim
116 Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 6, No. 2, 2005: 115-129
surat, bergandengan tangan, kissing, dan sebagainya. Atas dasar dorongan-dorongan
seksual dan rasa ketertarikan terhadap lawan jenisnya, perilaku remaja mulai
diarahkan untuk menarik perhatian lawan jenis. Dalam rangka mencari pengetahuan
tentang seks, ada remaja yang melakukan secara terbuka mengadakan eksperimen
dalam kehidupan seksual. Misalnya dalam berpacaran, mereka mengekspresikan
perasaannya dalam bentuk-bentuk perilaku yang menuntut keintiman secara fisik
dengan pasangannya, seperti berciuman hingga melakukan hubungan seksual.
Survei yang dilaksanakan di beberapa negara Asia Tenggara menunjukkan
bahwa proporsi perempuan yang melakukan hubungan seks sebelum menikah cukup
tinggi. Sementara di Amerika dengan subjek penelitian perempuan Afrika-Amerika
berusia 14-18 tahun ditemukan 46% responden melakukan hubungan seksual kurang
dari atau sama dengan 4 kali pada 6 bulan terakhir, dan 54 responden melakukan
hubungan seksual lebih dari 4 kali dalam 6 bulan terakhir (SHOP Talk, 2002).
Penelitian tentang seksualitas remaja pada beberapa kota di Indonesia pun
memperlihatkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sarwono (1991) dalam
population raport 1985 menunjukkan bahwa 1-25% remaja Indonesia telah
melakukan hubungan seks pranikah. Laporan dari jurnal ESCAP pada tahun 1992
menunjukkan bahwa di Indonesia satu dari lima perempuan yang statusnya menikah
dan berusia 20-24 tahun melahirkan anak pertama yang merupakan buah dari
hubungan seksual sebelum menikah (Saifuddin dan Hidayana, 1999). Survei terhadap
perilaku seksual remaja di Jakarta yang diadakan oleh Pusat Penelitian Kesehatan
Universitas Indonesia (PPK-UI) menunjukkan bahwa 2,8% pelajar SMA wanita
dan 7% dari pelajar SMA pria melaporkan adanya gejala-gejala penyakit menular
seksual (Utomo dkk, 1998). Sebuah penelitian di Malang dan Manado, serta sebuah
penelitian di Bali menunjukkan bahwa 26% dan 29% anak muda berusia 20 sampai
24 tahun telah aktif seksual (Iskandar, 1998). Sementara itu hasil penelitian di Bali
yang dilakukan oleh Soetjipto dan Faturochman (1989), menunjukkan bahwa
persentase remaja laki-laki dan perempuan di desa dan kota yang telah melakukan
hubungan seks sebelum menikah masing-masing adalah 23,6% dan 33,5%.
Sementara di Semarang, penelitian terhadap 1086 responden pelajar SMPSMU
ditemukan data 4,1% remaja putra dan 5,1% remaja putri pernah melakukan
hubungan seks. Pada tahun yang sama Tjitarra mensurvei 205 remaja yang hamil
tanpa dikehendaki. Survei yang dilakukan Tjitarra juga memaparkan bahwa mayoritas
dari mereka berpendidikan SMA ke atas, 23% di antaranya berusia 15-20 tahun,
dan 77% berusia 20 - 25 tahun (Satoto, dalam Yeni 1998).
Sebuah survei terhadap 8.084 remaja laki-laki dan remaja putri usia 15-24
tahun di 20 kabupaten pada empat propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur
dan Lampung) menemukan 46,2% remaja masih menganggap bahwa perempuan
tidak akan hamil hanya dengan sekali melakukan hubungan seks. Kesalahan persepsi
Seksualitas Remaja: Perbedaan Seksualitas ... (Taufik dan Nur Rachmah N.A.) 117
ini sebagian besar diyakini oleh remaja laki-laki (49,7%) dibandingkan pada remaja
putri (42,3%). Dari survei yang sama juga didapatkan bahwa hanya 19,2% remaja
yang menyadari peningkatan risiko untuk tertular PMS bila memiliki pasangan seksual
lebih dari satu. 51% mengira bahwa mereka akan berisiko tertular HIV hanya bila
berhubungan seks dengan pekerja seks komersial (LDFEUI dan NFPCB, 1999).
Di Surakarta penelitian terhadap 12 wabal (singkatan dari wanita baulan, yaitu
sebutan untuk remaja perempuan yang melakukan seks bebas tanpa motivasi
ekonomis atau dilandasi atas dasar suka sama suka) yang dilakukan oleh Magdalena
seperti yang dilaporkan oleh Tim Yayasan Kakak (2002) menunjukkan bahwa alasan
subjek melakukan seks bebas, sebagian besar (75%) dilandasi oleh pengkhianatan
pacar atas dirinya, dimana sebelumnya sang pacar telah merenggut kegadisannya,
sedangkan 25% lainnya karena pernah diperkosa. Selain itu, Tim Yayasan Kakak
(2002) juga melaporkan hasil penelitiannya terhadap 50 orang wabal di wilayah
Surakarta, menunjukkan bahwa 14% wabal masih tercatat aktif sebagai pelajar (SMP
dan SMU), 2% tidak pernah sekolah, sedangkan 85% lainnya mengaku telah putus
sekolah. Para wabal memiliki karakter yang berbeda-beda. Di antara mereka memiliki
kebiasaan nongkrong di pinggir-pinggir jalan dan bergabung dengan para pengamen.
Ada pula yang suka duduk di kafe dan diskotik. Kebiasaan nongkrong di kafe dan
diskotik ini disinyalir karena ingin melarikan diri dari persoalan yang dihadapi.
Kenyataan-kenyataan di atas secara umum sangat kontradiktif dengan budaya
Timur yang santun dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moral-etik, dan secara
khusus juga bertentangan dengan landasan filosofis dan budaya masyarakat Surakarta
yang adiluhung. Sebagaimana diketahui, Surakarta atau sering juga disebut Kutho
Solo memiliki dinamika yang berbeda dengan kota-kota lainnya di Indonesia, sehingga
banyak gelar yang disandangnya, dari mulai kota budaya, kota kerajaan, kota
berbasis agama hingga sebutan sebagai kota pelajar. Selain itu, masyarakat Surakarta
juga dianggap sebagai representasi masyarakat Jawa, yang berperilaku halus, bertutur
kata lembut dan sering banyak mengalah. Terkait dengan fenomena seksualitas remaja
yang telah diuraikan sebelumnya, bagaimana sebenarnya perilaku dan sikap remaja
terhadap perilaku seksual pranikah?
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji perbedaan seksualitas
antara remaja yang tidak melakukan hubungan seksual dan remaja yang melakukan
hubungan seksual di Surakarta
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan teori
Psikologi Sosial yang terkait dengan masalah kesehatan reproduksi remaja, dalam
hal ini secara khusus adalah perilaku seksual. Secara praktis yang dapat diberikan
dari penelitian ini adalah dapat memberi masukan dan bahan pertimbangan bagi
pendidik/guru, orang tua, pemerintah dan lembaga-lembaga agama untuk mengambil
berbagai langkah guna mengeliminasi berkembangnya perilaku seks bebas remaja.
118 Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 6, No. 2, 2005: 115-129
Seringkali terjadi perbedaan pengertian antara perilaku seksual dengan hubungan
seksual, sehingga masyarakat menangkap perilaku seksual sebagai hal yang negatif.
Perilaku seksual ialah perilaku yang melibatkan sentuhan secara fisik anggota badan
antara pria dan wanita yang telah mencapai pada tahap hubungan intim, yang biasanya
dilakukan oleh pasangan suami istri. Perilaku seks bebas atau perilaku seks pranikah,
merupakan perilaku seks yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan resmi
menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing individu.
Sementara seksualitas adalah konsep tentang nilai, orientasi, dan perilaku yang
berkaitan dengan seks (Noor, 2004). Pengertian seksualitas di dalamnya meliputi
perilaku seksual dan perilaku seksual bebas.
Secara psikologis pada fase remaja ada dua aspek penting yang dipersiapkan
(Imran, 2000), antara lain:
Orientasi seksual. Pada masa ini remaja diharapkan sudah menemukan orientasi
seksualitasnya atau arah ketertarikan seksualnya (heteroseksualitas atau homoseksualitas).
Norma umum yang berlaku lebih menyukai jika seseorang menyukai
orientasi seksualitas ke arah heteroseksualitas. Namun, tidak dipungkiri ada remaja
yang memilih orientasi seksualitas homoseksualitas. Orientasi ini dipengaruhi oleh
penghayatan terhadap jenis kelamin. Faktor individu (fisik atau psikologis), keluarga
dan lingkungan ikut mendorong dan berperan dalam menguatkan identitas ini.
Peran seks. Peran seks adalah menerima dan mengembangkan peran serta
kemampuan tertentu selaras dengan jenis kelaminnya. Laki-laki akan dekat dengan
sifat-sifat sebagaimana laki-laki, demikian pula perempuan akan dekat dengan sifatsifat
sebagaimana perempuan. Peran seks ini sangat penting pada tahap pembentukan
identitas diri, apakah seseorang itu berhasil mengidentifikasi dirinya atau justru
melakukan transfer pada identitas yang lain (transeksual).
Stereotip yang menonjol pada remaja adalah mereka sangat berminat
membicarakan dan mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan masalah seksual.
Ada lima topik yang diminati remaja dalam upaya memenuhi rasa ingin tahunya
mengenai masalah seksual, yaitu pembicaraan tentang: proses hubungan seksual,
pacaran, kontrol kelahiran, cinta dan perkawinan, dan penyakit seksual.
Kebanyakan remaja beranggapan bahwa proses hubungan seksual itu adalah
faktor yang bersifat independen, tidak terkait dengan penyakit seksual atau kehamilan.
Dengan sifat “egosentrisme” yang masih dimiliki membuat remaja berfikir bahwa
terjadinya penyakit seksual atau kehamilan itu tidak terjadi pada “ku” (remaja),
tetapi hal tersebut terjadi pada orang lain.
Perilaku seks bebas memang kasat mata, namun ia tidak terjadi dengan sendirinya
melainkan didorong atau dimotivasi oleh faktor-faktor internal yang tidak dapat diamati
secara langsung (tidak kasat mata), sehingga individu tergerak untuk melakukan
Seksualitas Remaja: Perbedaan Seksualitas ... (Taufik dan Nur Rachmah N.A.) 119
perilaku seks bebas. Motivasi merupakan penggerak perilaku. Motivasi tertentu
akan mendorong seseorang untuk melakukan perilaku tertentu pula. Pada seorang
remaja, perilaku seks bebas dapat dimotivasi oleh rasa sayang dan cinta dengan
didominasi oleh perasaan kedekatan dan gairah yang tinggi terhadap pasangannya,
tanpa disertai komitmen yang jelas (romantic love), atau karena pengaruh kelompok
(konformitas). Remaja ingin menjadi bagian dari kelompoknya dengan mengikuti
norma-norma yang telah dianut oleh kelompoknya, dalam hal ini kelompoknya telah
melakukan perilaku seks bebas.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi seorang remaja melakukan seks bebas
karena didorong oleh rasa ingin tahu yang besar untuk mencoba segala hal yang
belum diketahui. Ini merupakan ciri-ciri remaja pada umumnya. Remaja ingin
mengetahui banyak hal yang hanya dapat dipuaskan serta diwujudkannya melalui
pengalaman mereka sendiri.
Disinilah suatu masalah seringkali muncul dalam kehidupan remaja karena
mereka ingin mencoba-coba segala hal, termasuk yang berhubungan dengan fungsi
ketubuhannya yang juga melibatkan pasangannya. Namun dibalik itu semua, faktor
internal yang paling mempengaruhi perilaku seksual remaja sehingga mengarah pada
perilaku seksual pranikah pada remaja adalah berkembangnya organ seksual.
Dikatakan bahwa gonads (kelenjar seks) yang tetap bekerja (seks primer) bukan
saja berpengaruh pada penyempurnaan tubuh (khususnya yang berhubungan dengan
ciri-ciri seks sekunder), melainkan juga berpengaruh jauh pada kehidupan psikis,
moral, dan sosial (Sarwono, 1991).
Pada kehidupan psikis remaja, perkembangan organ seksual mempunyai
pengaruh kuat dalam minat remaja terhadap lawan jenis kelamin. Ketertarikkan
antar lawan jenis ini kemudian berkembang ke pola kencan yang lebih serius serta
memilih pasangan kencan dan romans yang akan ditetapkan sebagai teman hidup.
Pada kehidupan moral, seiringan dengan bekerjanya gonads, tak jarang timbul konflik
dalam diri remaja (Sarwono, 1991). Masalah yang timbul yaitu akibat adanya
dorongan seks dan pertimbangan moral sering kali bertentangan.
Bila dorongan seks terlalu besar sehingga menimbulkan konflik yang kuat, maka
dorongan seks tersebut cenderung untuk dimenangkan dengan berbagai dalih sebagai
pembenaran diri. Dalam hubungan ini, Cohen (2002) mengatakan jika remaja
bercerita tentang kegiatan seksual mereka, maka remaja banyak membela diri dengan
komentar “Everybody does it.”
Pengaruh perkembangan organ seksual pada kehidupan sosialnya ialah remaja
dapat memperoleh teman baru dan mengadakan jalinan cinta dengan lawan jenisnya.
Jalinan cinta ini tidak lagi menampakkan pemujaan secara berlebihan terhadap lawan
jenis dan “cinta monyet” pun tidak tampak lagi. Mereka benar-benar terpaut hatinya
pada seorang lawan jenis, sehingga terikat oleh tali cinta.
120 Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 6, No. 2, 2005: 115-129
Selain itu, pertumbuhan kelenjar-kelenjar seks (gonads) remaja, sesungguhnya
merupakan bagian integral dari pertumbuhan dan perkembangan jasmani secara
menyeluruh. Energi seksual atau libido (nafsu) pun telah mengalami perintisan yang
cukup panjang. Sigmund Freud mengatakan bahwa dorongan seksual yang diiringi
oleh nafsu atau libido telah ada sejak terbentuknya Id. Namun dorongan seksual ini
mengalami kematangan pada usia remaja. Karena itulah, dengan adanya pertumbuhan
ini maka dibutuhkan penyaluran dalam bentuk perilaku seksual tertentu (Cohen,
2002).
Faktor lingkungan juga memiliki peran yang tidak kalah penting dengan faktor
pendorong perilaku seksual pranikah lainnya. Faktor lingkungan ini bervariasi
macamnya, ada teman sepermainan (peer-group), pengaruh media dan televisi,
bahkan faktor orang tua sendiri. Pada masa remaja, kedekatannya dengan peergroupnya
sangat tinggi karena selain ikatan peer-group menggantikan ikatan keluarga,
mereka juga merupakan sumber afeksi, simpati, dan pengertian, saling berbagi
pengalaman dan sebagai tempat remaja untuk mencapai otonomi dan independensi
(Newman and Newman, 1979). Pengaruh media dan televisi pun seringkali diimitasi
oleh remaja dalam perilakunya sehari-hari. Misalnya saja remaja yang menonton
film remaja Barat, melalui observational learning, mereka melihat perilaku seks itu
menyenangkan dan dapat diterima lingkungan. Hal ini pun diimitasi oleh remaja tanpa
memikirkan adanya perbedaan kebudayaan, nilai, serta norma-norma dalam lingkungan
masyakarat yang berbeda.
Perilaku yang tidak sesuai dengan tugas perkembangan remaja pada umumnya
dapat dipengaruhi orang tua. Bilamana orang tua mampu memberikan pemahaman
mengenai perilaku seks kepada anak-anaknya, maka anak-anaknya cenderung
mengontrol perilaku seksnya itu sesuai dengan pemahaman yang diberikan orang
tuanya. Hal ini terjadi karena pada dasarnya pendidikan seks yang terbaik adalah
yang diberikan oleh orang tua sendiri, dan dapat pula diwujudkan melalui cara hidup
orang tua dalam keluarga sebagai suami-istri yang bersatu dalam perkawinan
(Sarwono, 1998). Kesulitan yang timbul kemudian adalah apabila pengetahuan orang
tua kurang memadai menyebabkan sikap kurang terbuka dan cenderung tidak
memberikan pemahaman tentang masalah-masalah seks anak. Akibatnya anak
mendapatkan informasi seks yang tidak sehat. Tentang hal ini Soekanto (1996)
menyimpulkan hasil penelitiannya sebagai berikut: informasi seks yang tidak sehat
atau tidak sesuai dengan perkembangan usia remaja ini mengakibatkan remaja terlibat
dalam kasus-kasus berupa konflik-konflik dan gangguan mental, ide-ide yang salah
dan ketakutan-ketakutan yang berhubungan dengan seks. Dalam hal ini, terciptanya
konflik dan gangguan mental serta ide-ide yang salah dapat memungkinkan seorang
remaja untuk melakukan perilaku seks bebas. Pertanyaan yang akan dikaji dalam
penelitian ini adalah bagaimana aktivitas dan sifat pergaulan, aktivitas seksual aktif,
Seksualitas Remaja: Perbedaan Seksualitas ... (Taufik dan Nur Rachmah N.A.) 121
serta sikap terhadap perilaku seksual bebas antara remaja yang tidak melakukan
hubungan seksual dan remaja yang telah melakukan hubungan seksual.
METODE PENELITIAN
Perilaku seksual pranikah adalah perilaku yang melibatkan sentuhan secara
emosi dan fisik (anggota badan) yang dilandasi oleh nafsu birahi (libido need), baik
yang mengarah maupun telah pada tahap hubungan intim, dan dilakukan oleh
pasangan di luar nikah. Perilaku seksual di sini tidak hanya dimaksudkan untuk
hubungan antarlawan jenis (pria dengan wanita), namun juga untuk hubungan yang
sesama jenis (pria dengan pria dan wanita dengan wanita). Perilaku seksual pra
nikah dalam penelitian ini akan diungkap dengan kuesioner perilaku seksual pra
nikah, yang disusun berdasarkan aspek-aspek perilaku seksual pranikah yaitu:
karakteristik responden; latar belakang keluarga; aktivitas dan sifat pergaulan; aktivitas
seksual aktif dan pasif (aktif yaitu dilakukan dengan pasangan, pasif yaitu dilakukan
tidak dengan pasangan), serta sikap terhadap perilaku seksual bebas.
Populasi dari penelitian ini adalah siswa-siswi SMU kelas III di Surakarta.
Penentuan sampel dilakukan secara random sampling. Subjek dalam penelitian ini
berjumlah 1.250 orang, yang berasal dari sepuluh SMU di Surakarta. Terdiri atas
611 subjek berjenis kelamin laki-laki dan 639 subjek perempuan.
Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner yang disusun
berdasarkan aspek-aspek perilaku seksual yang meliputi karakteristik responden;
latar belakang keluarga; aktivitas dan sifat pergaulan; pengetahuan reproduksi; dan
aktivitas seksual aktif dan pasif serta sikap terhadap perilaku seksual bebas. Data
yang berhasil dikumpulkan kemudian dianalisis secara deskriptif-kuantitatif.
Langkah-langkah kongkret dalam menggali data adalah sebagai berikut: (1)
mempersiapkan alat ukur penelitian, (2) melakukan random terhadap semua
kelompok sampel (sekolah SMU) di Surakarta, yang berjumlah 45 kelompok sampel
atau sekolah, (3) menyebarkan angket kepada kelompok subjek yang terpilih, (4)
melakukan analisis terhadap berbagai temuan data di lapangan, dan (5) menginterpretasikan
data yang diperoleh berdasarkan konsep psikologi sosial.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Remaja SMU kelas 3 di Surakarta sebagian besar berusia 17 tahun yang menurut
kebanyakan orang usia ini adalah usia puncak remaja (sweet seventeen). Remaja
SMU yang menjadi subjek dalam penelitian ini mayoritas beragama Islam, sebagian
besar tinggal bersama orang tuanya sehingga intensitas pertemuan dengan orang tua
dan anggota keluarga lainnya relatif tinggi. Secara umum pendidikan orang tua subjek
122 Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 6, No. 2, 2005: 115-129
pada tingkat menengah (SMA). Sebagian ayah subjek bekerja sebagai wiraswasta
demikian pula dengan ibu subjek juga kebanyakan bekerja pada sektor wiraswasta,
dengan penghasilan rata-rata orang tua berkisar antara Rp. 1.000.000-Rp.1.500.000,
pendapatan ini memang lebih tinggi dari Upah Minimum Regional (UMR) di
Surakarta. Namun, dalam kondisi perekonomian Indonesia saat ini yang harga barang
kebutuhan pokok demikian tinggi, penghasilan rata-rata orang tua subjek tersebut
hanya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Subjek tinggal bersama orang tuanya, sehingga seharusnya memiliki kesempatan
yang lebih besar bagi pembinaan mental spiritual anak. Namun, pada kenyataannya
ditemukan bahwa mayoritas subjek dalam beribadah tidak teratur. Data ini setidaknya
menunjukkan bahwa kebutuhan spiritual tidak menjadi prioritas orang tua dalam
mendidik anak-anaknya, atau remaja saat ini memang cenderung mengesampingkan
nilai-nilai syariat dengan menggantikannya dengan aktivitas hedonis lain yang
dipandang lebih penting.
Perbandingan jumlah antara remaja yang telah melakukan maupun yang tidak
melakukan hubungan seksual adalah sebagai berikut:
Tabel 1
Aktivitas seksual
Dari hasil angket yang dibagikan, ditemukan 164 subjek (13,12%) telah
melakukan hubungan seksual, yang terdiri atas 139 subjek (11,12%) laki-laki dan
25 subjek (2%) perempuan. Sebagian besar subjek yang telah melakukan hubungan
seksual mengemukakan bahwa alasan melakukan hubungan seksual adalah sebagai
bukti rasa cinta. Selain itu, pada subjek laki-laki alasan lainnya karena tergoda oleh
pasangan, bereksperimen, pengaruh teman lain yang melakukannya, pengaruh obat
dan miras. Pada subjek perempuan, selain karena alasan bukti rasa cinta, juga karena
tergoda oleh pasangan (rayuan). Usia subjek laki-laki pertama kali melakukan
hubungan seksual sebagian besar antara 15-17 tahun dan 18-19 tahun, meski juga
ditemukan 2,88% melakukan hubungan seksual di usia kurang dari 12 tahun dan
antara 12-14 tahun (11,51%). Pada subjek perempuan juga sebagian besar dilakukan
pada usia 15-17 tahun, namun juga ditemukan 1 orang (4%) subjek yang melakukan
hubungan seksual kurang dari 12 tahun, dan antara 12-14 tahun (8%).
Kelompok Subjek Pria Wanita Total
Melakukan hubungan seksual 139 25 164
Tidak melakukan hubungan seksual 472 614 1086
Jumlah 611 639 1250
Seksualitas Remaja: Perbedaan Seksualitas ... (Taufik dan Nur Rachmah N.A.) 123
Jauhnya remaja dari nilai-nilai agama berimbas terhadap perilaku-perilaku
lainnya. Sebagaimana ditunjukkan pada data berikutnya bahwa mayoritas subjek
menggunakan media pornografi. Sebagian besar subjek memiliki uang saku perbulan
kurang dari Rp 100.000,-. Untuk subjek yang mengaku melakukan hubungan seksual
juga sebagian besar memiliki uang saku perbulan kurang dari Rp 100.000, yaitu
pada subjek laki-laki 56 orang (40,29%) dan subjek perempuan 14 orang (56%).
Ini terkait dengan pendapatan orang tua, dimana sebagian besar penghasilan orang
tua remaja yang tidak melakukan hubungan seksual antara Rp 1.000.001-
Rp 1.500.000, sebaliknya sebagian besar penghasilan orang tua remaja yang
melakukan hubungan seksual antara Rp 200.001-Rp 600.000.
Pada subjek yang melakukan hubungan seksual kebanyakan dalam beribadah
secara berturut-turut adalah: tidak teratur, dulu beribadah sekarang tidak teratur,
dan tidak pernah beribadah. Selain didominasi oleh aktivitas ibadah yang tidak teratur,
subjek yang melakukan hubungan seksual, pada umumnya sudah tidak beribadah
lagi. Ini menunjukkan bahwa perilaku beribadah akan sangat berpengaruh pada
peluang remaja untuk melakukan hubungan seksual. Walaupun dalam penelitian ini
juga ditemukan data bahwa remaja yang melakukan hubungan seksual juga
melakukan ibadah secara teratur. Hal ini dimungkinkan terjadi karena kualitas
ibadahnya belum baik atau belum adanya penghayatan secara benar.
Faktor yang mempengaruhi munculnya perilaku seks bebas di antaranya
penggunaan media pornografi. Hal ini terlihat dari banyaknya subjek yang pernah
menggunakan media pornografi. Subjek (laki-laki) yang mengaku telah melakukan
hubungan seksual semuanya pernah menggunakan media pornografi. Ditemukan
76% subjek perempuan yang telah melakukan hubungan seksual mengaku pernah
menggunakan media pornografi. Selain itu, penggunaan media pornografi juga
berpengaruh terhadap perilaku onani-masturbasi. Seperti ditunjukkan oleh sebagian
besar subjek laki-laki, baik yang telah melakukan hubungan seksual maupun yang
tidak melakukan hubungan seksual, mengaku kadang-kadang melakukan onani,
sedangkan pada sebagian besar subjek perempuan baik pada yang telah melakukan
hubungan seksual maupun yang tidak melakukan hubungan seksual, mengaku tidak
pernah melakukan masturbasi. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas onani hanya
dilakukan oleh kalangan remaja laki-laki saja.
Hampir seluruh subjek lebih tertarik terhadap lawan jenisnya. Meski juga
ditemukan pada subjek laki-laki yang mengaku tidak melakukan hubungan seksual
terdapat 2,38% biseks, dan 0,22% homoseks. Pada subjek perempuan yang tidak
melakukan hubungan seksual terdapat 1,18% yang mengaku biseks. Pada subjek
laki-laki yang telah melakukan hubungan seksual terdapat 1,44% biseks dan 4 % (1
orang) yang mengaku lesbian.
124 Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 6, No. 2, 2005: 115-129
Perilaku pacaran seperti tidak terpisahkan dengan dunia remaja. Menurut data
yang ditemukan sebagian besar subjek yang tidak melakukan hubungan seksual
mengaku sudah berpacaran. Sedangkan pada subjek yang melakukan hubungan
seksual, semuanya berpacaran. Usia pertama kali pacaran adalah 15-17 tahun.
Apabila data ini dikaitkan dengan identitas usia subjek maka dapat dikatakan bahwa
sebagian besar subjek mulai berpacaran ketika mereka masih dibangku SMU.
Sebagian besar subjek yang berpacaran menjalani aktivitasnya dengan mengobrol.
Pada subjek yang melakukan hubungan seksual maupun yang tidak melakukan
hubungan seksual selain melakukan aktivitas mengobrol juga berpelukan, mencium
bibir dan leher, meraba alat kelamin partner baik dari luar maupun dalam pakaian
ataupun secara langsung, melakukan oral seks dan menggesekkan alat kelamin sendiri
ke alat kelamin partner.
Aktivitas seksual subjek sebagian besar dilakukan di rumah sendiri baik pada
subjek yang melakukan hubungan seksual maupun subjek yang tidak melakukan
hubungan seksual. Selain dilakukan di rumah sendiri, aktivitas seksual juga sebagian
besar dilakukan di rumah teman dan di penginapan.
Tabel 2
Tempat Melakukan Aktivitas Seksual
Ini menunjukkan bahwa longgarnya peraturan ataupun perhatian yang diberikan
orang tua kepada anak-anaknya. Rumah yang seharusnya menjadi pusat pendidikan
yang di dalamnya sarat dengan aturan dan kedisiplinan justru dianggap sebagai tempat
yang tepat untuk melakukan aktivitas seksual. Sebagaimana dikemukakan oleh subjek
perempuan yang telah melakukan hubungan seksual, bahwa alasan pemilihan rumah
Tidak melakukan hub.
seksual
Melakukan hubungan
Tempat melakukan seksual
aktivitas seksual Laki-laki
(%)
Perempuan
(%)
Laki-laki
(%)
Perempuan
(%)
Rumah, kos 23,36 40,79 23,48 50
Sekolah 8,67 13,54 8,70 -
Bioskop 9,30 8,80 10,43 16,67
Penginapan 2,75 1,57 15,22 8,33
Rumah teman 15,65 10,24 17,39 5,56
Rumah saudara 3,17 5,83 1,30 -
Tempat rekreasi 15,65 8,66 8,70 2,78
Tempat-tempat sepi 21,56 10,39 14,78 16,67
jumlah 100% 100% 100% 100%
Seksualitas Remaja: Perbedaan Seksualitas ... (Taufik dan Nur Rachmah N.A.) 125
sendiri sebagai tempat melakukan aktivitas seksual, sebagian besar karena faktor
keamanan.
Sebagian besar alasan subjek laki-laki melakukan hubungan seksual pertama
kali sebagai bukti rasa cinta, selain itu juga karena keinginan untuk mencoba. Alasan
pada remaja perempuan adalah karena ingin mencoba dan juga terangsang oleh
pasangannya. Sebagaimana alasan tempat melakukan aktivitas seksual, hubungan
seksual sebagian besar juga dilakukan di rumah sendiri, ini ditemukan baik pada
subjek laki-laki maupun subjek perempuan. Selain itu juga dilakukan di rumah partner
dan atau di tempat kos partner. Waktu melakukan hubungan seksual sebagian besar
dilakukan pada saat berkencan. Selain ketika berkencan, subjek juga melakukannya
ketika berekreasi merayakan usia 17 (sweet seventeen), valentine, kamping, tahun
baru dan peringatan hari jadi antara keduanya.
Kebanyakan subjek pernah melakukan hubungan seksual selama 1 kali. Meski
demikian pada subjek laki-laki juga ditemukan 20,86% yang melakukan hubungan
seksual 2-4 kali, 15,83% sebulan 1-2 kali, 22,30% seminggu 1-2 kali, 4,31%
mengaku melakukan hubungan seksual setiap hari lebih dari 1 kali, dan 0,71% setiap
ada hasrat. Pada subjek perempuan juga ditemukan 24% melakukan hubungan
seksual 2-4 kali, 4% sebulan 1-2 kali dan 24% seminggu 1-2 kali.
Tabel 3
Frekuensi Melakukan Hubungan Seksual
Hubungan seksual kebanyakan dilakukan subjek bersama dengan pacarnya.
Selain dilakukan dengan pacarnya pada subjek laki-laki juga melakukannya dengan
antarteman, pelacur, wabal dan tante-tante kesepian. Pada subjek perempuan
Frekuensi melakukan Melakukan hubungan seksual
hubungan seksual Laki-laki (%) Perempuan (%)
1 kali 35,97 48
2-4 kali 20,86 24
Sebulan 1-2 kali 15,83 4
Seminggu 1-2 kali 22,30 24
Hampir setiap hari - -
Setiap hari lebih dari 1 kali 4,31 -
Setiap ada hasrat 0,71 -
Jumlah 100% 100%
126 Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 6, No. 2, 2005: 115-129
ditemukan 1 orang (4%) melakukannya dengan gigolo. Tingginya frekuensi melakukan
hubungan seksual, membuat subjek seakan tiada bersalah atas perilakunya.
Hal ini ditunjukkan oleh kebanyakan subjek laki-laki yang merasa puas atau nikmat
setelah melakukan hubungan seksual, sedangkan pada subjek perempuan merasa
takut, berdosa, dan kotor. Selain itu, ditemukan 14,39% pada subjek laki-laki setelah
melakukan hubungan seksual justru merasa ingin melakukannya lagi.
Terdapat perbedaan pendapat yang mencolok antara subjek yang tidak
melakukan hubungan seksual dan subjek perempuan yang melakukan hubungan
seksual dengan pendapat subjek laki-laki yang melakukan hubungan seksual.
Kelompok subjek yang pertama berpendapat bahwa hubungan seksual di luar nikah
itu adalah perbuatan haram dan berdosa, sedangkan pada subjek laki-laki yang
melakukan hubungan seksual berpendapat bahwa hal itu boleh saja dilakukan asalkan
dilandasi suka sama suka.
Selanjutnya, pada subjek yang tidak melakukan hubungan seksual sebagian
besar berpendapat bahwa alasan remaja melakukan hubungan seksual adalah karena
pengaruh lingkungan, vcd, buku dan film porno. Selain itu, juga mereka berpendapat
karena tidak taat pada agama dan tidak ada bimbingan orang tua. Subjek yang
melakukan hubungan seksual berpendapat hal itu sebagai bukti rasa cinta dan karena
kebutuhan biologis, meski juga ada pendapat bahwa itu juga karena pengaruh
lingkungan, vcd, buku dan film porno.
SIMPULAN
Aktivitas dan pergaulan subjek. Sebagian besar subjek dalam beribadah
tidak teratur, baik pada subjek yang melakukan maupun yang tidak melakukan
hubungan seksual. Terdapat remaja yang melakukan ibadah secara teratur, namun
masih melakukan hubungan seksual menunjukkan bahwa kualitas ibadah yang
dijalankan masih sangat rendah. Pada umumnya subjek pernah menggunakan media
pornografi, pada subjek (laki-laki) yang melakukan hubungan seksual semuanya
mengaku pernah menggunakan media pornografi, dan pada subjek perempuan yang
telah melakukan hubungan seksual, hanya 76% yang menggunakan media pornografi.
Hampir seluruh subjek memiliki tipe hubungan seks yang heterogen, sebagian besar
subjek laki-laki, baik yang telah melakukan maupun yang tidak melakukan hubungan
seksual, mengaku kadang-kadang melakukan onani, sebagian besar subjek yang
tidak melakukan hubungan seksual sudah berpacaran. Subjek yang melakukan
hubungan seksual, semuanya berpacaran; usia pertama kali pacaran antara 15-17
tahun; selain mengobrol aktivitas pacaran lainnya adalah berpelukan, mencium bibir
dan leher, meraba alat kelamin pasangan baik dari luar maupun dalam pakaian ataupun
secara langsung, melakukan oral seks dan menggesekkan alat kelamin sendiri ke
Seksualitas Remaja: Perbedaan Seksualitas ... (Taufik dan Nur Rachmah N.A.) 127
alat kelamin pasangan, aktivitas seksual dilakukan di rumah sendiri, dan alasan
pemilihan tempat aktivitas seksual karena faktor kenyamanan.
Aktivitas seksual aktif. Alasan melakukan hubungan seksual adalah sebagai
bukti rasa cinta, usia pertama kali melakukan hubungan seksual antara 15-17 tahun
dan 18-19 tahun, dan hubungan seksual sebagian besar dilakukan di rumah sendiri.
Hubungan seksual sebagian besar dilakukan pada saat berkencan. Pada umumnya
subjek pernah melakukan hubungan seksual selama 1 kali, dan dilakukan subjek
bersama dengan pacarnya.
Sikap terhadap perilaku seks bebas. Kelompok subjek yang tidak melakukan
hubungan seksual berpendapat bahwa hubungan seksual di luar nikah itu adalah
perbuatan haram dan berdosa, sedangkan pada subjek laki-laki yang melakukan
hubungan seksual berpendapat bahwa hal itu boleh saja dilakukan, asalkan dilandasi
suka sama suka. Subjek yang tidak melakukan hubungan seksual sebagian besar
berpendapat bahwa alasan remaja melakukan hubungan seksual adalah karena
pengaruh lingkungan, vcd, buku dan film porno, sedangkan pada subjek yang
melakukan hubungan seksual berpendapat hal itu sebagai bukti rasa cinta dan karena
kebutuhan biologis.
Pentingnya meningkatkan peran orang tua dan guru sebagai sumber informasi
tentang kesehatan reproduksi bagi remaja dengan cara membekali dengan
pengetahuan yang benar tentang kesehatan reproduksi. Peningkatan peranan orang
tua dan guru dapat dilakukan dengan membuat pertemuan rutin (semacam parenting
class) bagi mereka.
Menjalin kerja sama dengan stasiun radio atau televisi (TATV) untuk membuat
paket acara yang berisi informasi tentang kesehatan reproduksi remaja. Hal ini
mengingat radio dan televisi adalah media yang paling diminati oleh remaja sementara
informasi tentang kesehatan reproduksi di radio dan televisi sangat minim. Acaraacara
yang patut dipertimbangkan adalah acara seperti talk show dan curhat remaja
yang bersifat interaktif.
Perlunya dibentuk program ekstrakurikuler di sekolah-sekolah dengan memasukkan
materi-materi kesehatan reproduksi di dalamnya.
Lebih mengoptimalkan peran masjid atau musholla sekolah sebagai pusat
kegiatan siswa, agar siswa lebih dekat dengan kegiatan ibadah dan aktivitas-aktivitas
lainnya yang lebih terkontrol, misalnya dengan membentuk kelompok-kelompok
pengajian (halaqah).
128 Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 6, No. 2, 2005: 115-129
DAFTAR PUSTAKA
Cohen, D. 2002. “When and Where Do Youths Have Sex? The Potential Role of
Adult Supervision”. Pediatrics, vol. 110, no.6.
Hurlock, E.B. 1994. Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang
Hidup (terjemahan). Jakarta: Erlangga.
Iskandar, M.1998. A Pioneer Establishment of One Stop Family Clinic for Urban
Young People’s Sexual and Reproductive Health Problems in South
Jakarta. Jakarta: the Population Council.
Kakak. 2002. Anak-anak Yang Dilacurkan, Masa Depan Yang Tercampakkan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Newman, B. M & Newman, P.R. 1979. An Introduction To 7he Psychology of
Adolescence. Illinois: The Dorsey Press.
Noor, I.R. 2004. Relasi Seksual dan Isu Gender. Dalam Irwan M. Hidayana,
Seksualitas: Teori dan Realitas. Jakarta: Fisip-UI dan Ford Foundation.
Saifuddin, A.F., Hidayana, I.M. 1999. Seksualitas Remaja. Jakarta: Sinar Harapan
Sarwono, W.S. 1991: Psikologi remaja, Jakarta: Rajawali.
Sarwono, S.W. 1998: Aborsi, AIDS dan Kondom, Kompas 3 Januari
SHOP Talk: School Health Opportunities and Progress Bulletin Volume 6, Number
22 February 1, 2002
Soekanto, S. 1996. Remaja dan Masalah-masalahnya, Sebab Musabab dan
Pemecahannya. Jakarta: Penerbit BPK Gunung Mulya.
Soetjipto, H.P., Faturochman. 1989. Knowledge, Attitude and Practice of Reproductive
Health among Javanese and Balinese Adolescent. Survey Report.
Yogyakarta: Population Studies Center UGM.
Sukatno, O. 2002. Seks Para Pangeran, Tradisi dan Ritualisasi Hedonisme
Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Seksualitas Remaja: Perbedaan Seksualitas ... (Taufik dan Nur Rachmah N.A.) 129
Utomo, B.N.G, Dharmaputra, B. Haryanto, D. Hartono, R. Makalew, S. Mills, and
J. Moran. 1998. Baseline STD/HIV Risk Behavioural Surveillance Survey
1996: Result from the Cities of North Jakarta, Surabaya and
Manado. Jakarta: Centre for Health Research University of Indonesia.
Yeni, Y.M. 1998. Peranan Sekolah Dalam Pendidikan Seks, Sebuah Tinjauan
Teoritis. www. bpkpenabur.or.id
www.satuwanita.com. Mengapa Gadis Kota Melakukan Seks Pra Nikah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar